Selasa, 30 September 2014

hadiah dan hukuman menurut alqur'an,sunnah,dan kisah para sahabat





HADIAH DAN HUKUMAN MENUTUT ALQUR’AN,SUNNAH, DAN KISAH PARA SAHABAT






Diajukan untuk memenuhi tugas mata kuliah filsafat pendidikan Islam
OLEH
KELOMPOK V
Santia Daeng Maladja
Moh. Ali Akbarz
Fitriyanti Yunus
Nelviyati Djafar
Karlila Djafar
Sutrisno Ula





INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI SULTAN AMAI GORONTALO FAKULTAS TARBIYAH DAN TADRISJURUSAN PENDIDIKAN AGAMA ISLAM




A. Pengertian Hadiah dan Hukuman dalam Pendidikan Islam
Menurut M. Ngalim Purwanto Hadiah adalah alat pendidikan repres yang menyenangkan, diberikan kepada anak yang memiliki prestasi tertentu dalam pendidikan, memiliki kemajuan dan tingkah laku yang baik sehingga dapat dijadikan tauladan bagi teman – temannya.
Berkaitan dengan konsep hadiah dan hukuman sebagaimana firman Allah Swt:
`yJsù ö@yJ÷ètƒ tA$s)÷WÏB >o§sŒ #\øyz ¼çnttƒ ÇÐÈ   `tBur ö@yJ÷ètƒ tA$s)÷WÏB ;o§sŒ #vx© ¼çnttƒ ÇÑÈ  
Artinya :“Barang siapa yang melakukan kebaikan seberat dzarrahpun,
niscaya dia akan melihat (balasannya), dan barang siapa yang
melakukan kejahatan seberat dzarrahpun, niscaya dia akan melihat
balasannya.” (Q.S. al-Zalzalah : 7-8).
Dengan menyimak ayat di atas, maka dapat diambil kesimpulan bahwa
balasan yang pertama adalah apa yang dikenal dengan istilah hadiah / ganjaran
(reward), sedangkan balasan yang kedua adalah hukuman (punishment), di
mana ayat ini juga menjelaskan bahwa hadiah dan hukuman merupakan
pedoman dari Allah SWT, dan Islam mengakui hal tersebut sebagai salah satu
hukum yang berlaku dalam kehidupan manusia atau masyarakat.
Hadiah di dalam al-Qur’an biasanya disebutkan dalam berbagai bentuk
uslub, di antaranya ada yang mempergunakan lafadz ‘ajr ( أجر ) dan tsawab (
ثواب ), seperti dalam surat al-Baqarah : 62, al-‘Ankabut : 58, dan
al-Bayyinah: 8.4
Dafid. L Sills mendefinisikan hadiah ialah : “reward is one educations
tools with given to the pupil as appreciation toward accomplish men was he
reached”.5 Hadiah ialah salah satu alat pendidikan yang diberikan pada murid
sebagai penghargaan terhadap prestasi yang dicapainya.
Sedangkan al-Ghazali mengartikan Hadiah ialah :
ثم مهم ا ظهر من الصبي خلق جميل وفعل محمود ,فينبغي ان یكرم عليه
ویجازي عليه بما یفرح به ویمدح بين اظهر الناس 6
Artinya :“sewaktu-waktu anak telah nyata budi pekerti yang baik dan
perbuatan yang terpuji, maka seyogyanya ia dihargai dan dibalas
dengan sesuatu yang menggembirakan dan dipuji di depan orang
banyak (diberi hadiah)”.
Yang perlu dingat dan digaris bawahi hadiah identik dengan tujuan
baik, sedang suap lebih identik dengan tujuan jelek. Meskipun beberapa studi
menunjukkan, bahwa untuk meningkatkan motivasi, pemberian hadiah lebih
efektif dibandingkan dengan cara lainnya; memberi sanksi, mengomeli,
memarahi dan lain sebagainya, tetapi sebagian orang tua kurang setuju dengan
hal itu. Dikhawatirkan anak terlalu mengharap hadiah yang akan diberikan,
sehingga hanya bekerja bila ada hadiah. Memang inilah yang menjadi
tantangan bagi para pendidik atau orang tua, oleh karena itu diusahakan
bagaimana caranya supaya dapat menghilangkan pemberian hadiah tidak
sesering mungkin terutama dalam bentuk materi, berikan hadiah sewajarnya
dan jangan terlalu berlebihan.
Dari penjelasan tersebut penulis dapat mengambil kesimpulan bahwa
yang dimaksud Hadiah dalam Pendidikan Islam adalah suatu pemberian yang
diberikan kepada anak didik karena anak telah melakukan kebaikan dan juga
merupakan pembinaan yang dipandang sebagai proses sosial dapat melahirkan
anak yang berwatak sosial, yang meraih watak kemanusiaannya yang
memiliki bekal nilai-nilai dan yang mematuhi perintah serta larangan moral
dan sosial yang merupakan syarat bagi tercapainya kehidupan anak yang baik
dan stabil.
Berkaitan dengan hukuman (punishment) ada beberapa pandangan
bahkan ada yang berpendapat dan percaya tentang hukuman itu sendiri dan
juga sebaliknya. Untuk itu perlu ditegaskan pula apa yang dimaksud dengan
hukuman dalam pembahasan ini, sebagaimana Hadiah yang telah disinggung
di atas.
1.Hukuman dan hadiah menurut Alqur’an
Dalam al-Qur’an hukuman juga biasanya disebutkan dalam berbagai
bentuk uslub, di antaranya ada yang mempergunakan lafadz ‘iqab ( ,(عقاب
adzab ( عذاب ), rijz ( رجز ), ataupun berbentuk pernyataan (statement). Kata
adzab seperti dalam surat at-Taubah : 74, Ali Imron : 21, kata rijz seperti
dalam surat al-A’raf : 134 dan 165, dan kata ‘iqab seperti dalam surat al-
Baqarah : 61 dan 65, Ali Imron : 11.8
Hukuman dalam istilah psikologi adalah cara yang digunakan pada
waktu keadaan yang merugikan atau pengalaman yang tidak menyenangkan
yang dilakukan oleh seseorang dengan sengaja menjatuhkan orang lain. Secara
umum disepakati bahwa hukuman adalah ketidaknyamanan (suasana tidak
menyenangkan) dan perlakuan yang buruk atau jelek.9
Elizabeth B. Hurlock mendefinisikan hukuman ialah : “punishment
means to impose a penalty on a person for a fault offense or violation or
retaliation”.10 Hukuman ialah menjatuhkan suatu siksa pada seseorang karena
suatu pelanggaran atau kesalahan sebagai ganjaran atau balasannya.
Abdullah Nasih Ulwan berpendapat hukuman ialah “hukuman yang
tidak ditentukan oleh Allah untuk setiap perbuatan maksiat yang di dalamnya
tidak ada had atau kafarat”.Sehingga dapat dibedakan antara hukuman yang
khusus dikeluarkan negara dengan hukuman yang diterapkan oleh kedua
orang tua dalam keluarga dan para pendidik di sekolah. Karena baik hudud
atau hukuman ta’zir keduanya sama bertujuan untuk memberi pelajaran baik
bagi si pelaku ataupun orang lain, semua itu adalah sebagai cara yang tegas
dan cepat untuk memperbaikinya.
Berdasarkan pengertian di atas, adanya hukuman disebabkan oleh
adanya pelanggaran yang dilakukan oleh seseorang. Jadi, yang dimaksud
menghukum yaitu memberikan sesuatu yang tidak menyenangkan
pembalasan dengan sengaja pada anak didik dengan maksud supaya anak
tersebut jera. Perlu dijelaskan di sini bahwa pembalasan bukan berarti balas
dendam, sehingga anak benar-benar insyaf dan sadar kemudian berusaha
untuk memperbaiki atas perbuatan yag tidak terpuji.
Sedangkan Athiyah al-Abrasyi berpendapat bahwa :
انّ الغرض منها في التّربية الإسلاميّة . . . الإرشاد والإصلاح لا الزّجر
والإنتقام
Artinya :“maksud hukuman dalam pendidikan Islam ialah … sebagai tuntutan
dan perbaikan, bukan sebagai hardikan dan balas dendam.”
Berdasarkan definisi di atas, dapat disimpulkan bahwa hukuman
memiliki tujuan perbaikan, bukan menjatuhkan hukuman pada anak didik
dengan alasan balas dendam. Maka dari itu seorang pendidik dan orang tua
dalam menjatuhkan hukuman haruslah secara seksama dan bijaksana.
Kalau dilihat secara ringkas mengenai kedudukan hukuman dalam
masyarakat Islam yang bersumber dari al-Qur’an, menurut Abdurrahman
Shaleh Abdullah. Islam mengenal tiga kategori hukuman yaitu hudud, qishas
dan ta’zir.14 Adapun dalam pembahasan ini, hukuman yang dimaksud besifat
edukatif atau mendidik dan dalam masyarakat Islam dikenal dengan sebutan
hukuman ta’zir. Kata “ta’zir” menurut kamus istilah fiqih adalah bentuk
masdar dari kata kerja “azzara” yang artinya menolak, sedang menurut istilah
hukum syara’ berarti pencegahan dan pengajaran terhadap tindak pidana yang
tidak mempunyai hukum had, kafarat dan qishas.15 Maka dari itu hukuman
haruslah mengandung unsur-unsur pendidikan baik diputuskan oleh hakim
maupun yang dilakukan orang tua dan para pendidik terhadap anaknya.
2. .Hukuman dan hadiah menurut sunnah rasulullah
Segala puji hanya bagi Allah. Semoga shalawat dan salam senantiasa tercurah kepada Rasulullah. Aku bersaksi bahwa tiada ilah yang berhak disembah kecuali hanya Allah semata, dan tidak ada sekutu bagi-Nya. Dan aku bersaksi bahwa Muhammad adalah hamba dan rasul-Nya. Amma ba’du.
Termasuk perkara yang tidak diragukan lagi, bahwa hadiah dalam kehidupan antar individu dan komunitas manusia memiliki pengaruh yang signifikan untuk terwujudnya ikatan dan hubungan sosial, momen-momennya senantiasa terulang setiap hari di acara-acara keagamaan, kemasyarakatan, dan selainnya. Dengan hadiah, terwujudlah kesempurnaan untuk meraih kecintaan, kasih sayang, sirnanya kedengkian, dan terwujudnya kesatuan hati.
Hadiah merupakan bukti rasa cinta dan bersihnya hati, padanya ada kesan penghormatan dan pemuliaan. Dan oleh karena itulah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam menerima hadiah dan menganjurkan untuk saling memberi hadiah serta menganjurkan untuk menerimanya.
Al Imam Al Bukhari telah meriwayatkan hadits di dalam Shahihnya (2585), dan hadits ini memiliki hadits-hadits pendukung yang lain. Dari ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha, beliau berkata,
“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam menerima hadiah dan membalasnya.”
Dan di dalam Ash Shahihain (Shahih Al Bukhari dan Shahih Muslim) dari hadits Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, beliau berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam apabila diberi makanan, beliau bertanya tentang makanan tersebut, “Apakah ini hadiah atau shadaqah?” Apabila dikatakan, “Shadaqah” maka beliau berkata kepada para shahabatnya, “Makanlah!” Sedangkan beliau tidak makan. Dan apabila dikatakan “Hadiah”, beliau mengisyaratkan dengan tangannya (tanda penerimaan beliau -pent). Lalu beliau makan bersama mereka. (HR. Al Bukhari [2576] dan Muslim [1077])
Dan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam telah bersabda,
“Hendaknya kalian saling memberi hadiah, niscaya kalian akan saling mencintai.” (HR. Al Bukhari dalam Adabul Mufrad, lihat Shahihul Jami’
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam juga bersabda,
“Penuhilah undangan, jangan menolak hadiah, dan janganlah menganiaya kaum muslimin.” (HR. Ahmad, Ibnu Abi Syaibah, Al Bukhari dalam Adabul Mufrad dan Shahihul Jami’ Ash Shaghir .
Dan dikarenakan sangat pentingnya dan pengaruh hadiah di dalam perikehidupan kaum muslimin serta perhatian Islam terhadapnya mengharuskan untuk dijelaskannya perkara-perkara yang berkaitan dengan hadiah berupa keadaan-keadaan, hukum-hukum, apa-apa saja yang diperbolehkan dari hadiah tersebut serta yang tidak diperbolehkan.
Pengertian Hadiah (Al-Athiyah, pemberian -pent)
Menurut istilah syar’i, maka hadiah ialah menyerahkan suatu benda kepada seorang tertentu agar terwujudnya hubungan baik dan mendapatkan pahala dari Allah tanpa adanya permintaan dan syarat.
Dan di sana ada sisi keumuman dan kekhususan di kalangan para ulama antara hibah, pemberian (athiyah) dan shadaqah. Dan poros definisi di antara tiga perkara ini adalah niat, maka shadaqah diberikan kepada seseorang yang membutuhkan dan dalam rangka mencari wajah Allah Ta’ala. Sedangkan hadiah diberikan kepada orang yang fakir dan orang kaya, dan diniatkan untuk meraih rasa cinta dan membalas budi atas hadiah yang diberikan (sebelumnya -pent). Dan terkadang pemberian hadiah itu juga bertujuan untuk mencari wajah Allah. Adapun hibah dan athiyah, tidak ada di antara keduanya perbedaan dan terkadang dimaksudkan untuk memuliakan orang yang diberikan hibah atau athiyah saja dikarenakan suatu keistimewaan atau sebab tertentu dari sebab-sebab yang ada.
Hukum Hadiah
Diperbolehkan dengan kesepakatan (ulama -pent) umat ini. Apabila tidak terdapat di sana larangan syar’i. Terkadang disunnahkan untuk memberikan hadiah apabila dalam rangka menyambung silaturrahim, kasih sayang dan rasa cinta. Terkadang disyariatkan apabila dia termasuk di dalam bab ‘Membalas Budi dan Kebaikan Orang Lain dengan Hal yang Semisalnya’. Dan terkadang pula, bisa menjadi haram atau perantara menuju perkara yang haram, dan ia merupakan hadiah yang berbentuk suatu yang haram, atau termasuk dalam kategori sogok-menyogok dan yang sehukum dengannya. Dan akan datang sebentar lagi pembahasan tentang macam-macam hadiah dan hukum masing-masing darinya.
Hukum Menerima Hadiah
Para ulama berselisih pendapat tentang orang yang diberikan bingkisan hadiah, apakah wajib menerimanya atau disunnahkan saja? Dan pendapat yang kuat bahwasanya orang yang diberikan hadiah yang mubah dan tidak ada penghalang syar’i yang mengharuskan menolaknya, maka wajib menerimanya, dikarenakan dalil-dalil berikut ini:
1. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
“Penuhilah undangan, jangan menolak hadiah, dan janganlah menganiaya kaum muslimin.” (Telah lewat takhrijnya yaitu di dalam Shahihul Jami’ [158])
2. Di dalam Ash Shahihain (Al Bukhari dan Muslim -pent.) dari Umar radhiyallahu ‘anhu, beliau berkata, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam memberiku sebuah bingkisan, lalu aku katakan, ‘Berikan ia kepada orang yang lebih fakir dariku’, maka beliau menjawab, ‘Ambillah, apabila datang kepadamu sesuatu dari harta ini, sedangkan engkau tidak tamak dan tidak pula memintanya, maka ambillah dan simpan untuk dirimu, jikalau engkau menghendakinya, maka makanlah. Dan bila engkau tidak menginginkannya, bershadaqahlah dengannya’.”
Salim bin Abdillah berkata, “Oleh karena itu, Abdullah (bin Umar -pent.) tidak pernah meminta kepada orang lain sedikitpun, dan tidak pula menolak bingkisan yang diberikan kepadanya sedikitpun.” (Shahih At Targhib No. 835)
Dan di dalam sebuah riwayat, Umar radhiyallahu ‘anhu berkata, “Ketahuilah demi Dzat yang jiwaku di tangan-Nya! Saya tidak akan meminta kepada orang lain sedikitpun, dan tidaklah aku diberikan suatu pemberian yang tidak aku minta melainkan aku mengambilnya….” (Shahih At Targhib [836])
3. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam tidaklah menolak hadiah kecuali dikarenakan sebab yang syar’i sebagaimana akan dijelaskan sebentar lagi. Oleh karena adanya dalil-dalil ini, maka wajib menerima hadiah apabila tidak dijumpai larangan syar’i.
4. Demikian pula di antara dalil-dalil yang menunjukkan wajibnya, adalah apa yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad dari hadits Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu. Beliau berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam pernah bersabda,
“Barangsiapa yang Allah datangkan kepadanya sesuatu dari harta ini, tanpa dia memintanya, maka hendaklah dia menerimanya, karena sesungguhnya itu adalah rezeki yang Allah kirimkan kepadanya.” (Shahih At Targhib [839])
Dan di dalam riwayat lain dari Khalid Al Jahnany radhiyallahu ‘anhu, beliau berkata, “Saya pernah mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
‘Barangsiapa yang sampai kepadanya sebuah kebaikan dari saudaranya dengan tanpa meminta dan tamak, hendaklah dia menerimanya dan tidak menolaknya, karena sesungguhnya itu merupakan rezeki yang Allah Azza wa Jalla kirimkan kepadanya’.” (HR. Ahmad, Ath Thabrani, Ibnu Hibban, Al Hakim, Shahih At Targhib wat Tarhib [838])
Maka menjadi kuatlah (pendapat yang mengatakan -pent.) wajibnya menerima hadiah apabila tidak ada di sana larangan syar’i.
c.Hukuman dan hadiah menurut kisah para sahabat
hukum Memberi Hadiah
Hukum memberi hadiah asalnya adalah boleh ketika tidak ada penghalang dalam syariat. Namun hukum asal tersebut dapat berubah menjadi sunnah ketika hadiah ini diberikan dalam rangka untuk mewujudkan perdamaian serta menciptakan rasa saling sayang dan cinta antara sesama muslim. Hadiah juga dianjurkan apabila diberikan dengan tujuan untuk membalas hadiah. Berubah pula hukum boleh tersebut menjadi haram apabila hadiah itu dari sesuatu yang haram atau dengan tujuan yang haram. Perintah untuk saling memberikan hadiah telah disebu
tkan dalam sunnah Rasulullah `, di antaranya adalah sabda beliau ` dari sahabat Abu Hurairah z:
تهادوا تحابوا
Salinglah memberi hadiah antara kalian, niscaya kalian akan saling mencintai.“ [H.R. Al-Bukhari dalam Adabul Mufrad, dishahihkan oleh Syaikh Al-Albani v].

Hukum Menerima Hadiah
Menerima hadiah menurut pendapat yang kuat adalah wajib, dengan catatan hadiah tersebut adalah hadiah yang mubah dan tidak ada penghalang dalam pandangan syariat yang bisa dijadikan alasan untuk menolak hadiah.
Kewajiban untuk menerima hadiah tersebut telah diperintahkan, bahkan dilakukan sendiri oleh Rasulullah `. Dari Abdullah bin Mas’ud z, bahwa Rasulullah ` bersabda yang artinya, “Penuhilah undangan, janganlah kalian menolak hadiah dan janganlah pula kalian memukul kaum muslimin.”  [HR Al-Bukhari dalam Adabul Mufrad dan dishahihkan oleh Syaikh Al-Albani v].
Juga disebutkan dari Abu Hurairah z bahwa Rasulullah ` bersabda yang artinya, “Barangsiapa yang Allah berikan kepadanya sesuatu dari harta ini (hadiah) dengan tanpa meminta-minta maka hendaknya ia menerimanya, karena itu adalah rizki yang Allah berikan kepadanya.”  [H.R. Ahmad, dishahihkan oleh Syaikh Al-Albani v dalam Shahih At Targhib].
Kapan Boleh Menolak Hadiah?
Kewajiban untuk menerima hadiah bukan berarti mutlak harus dilakukan, namun dibolehkan untuk tidak menerimanya apabila ia memiliki alasan yang sesuai dengan syariat. Rasulullah ` pun pernah pula menolak hadiah dengan alasan tertentu. Di antara alasan bolehnya menolak hadiah:
  1. Karena adanya larangan untuk menerimanya dengan sebab syariat.
Dari As-Sha’ab bin Jatsamah z bahwa beliau suatu saat memberi hadiah kepada Nabi ` berupa daging kuda zebra, tetapi Rasulullah ` menolak hadiah tersebut. Maka berubahlah rona muka shahabat tersebut, melihat hal ini Rasulullah ` bersabda yang artinya, “Saya tidak menerima hadiah tersebut kecuali sebabnya saya sedang dalam keadaan Ihram” [H.R. Bukhari dan Muslim]. Dalam riwayat ini beliau tidak menerima hadiah tersebut dikarenakan beliau dalam keadaan haji, sedangkan orang yang haji tidak diperbolehkan untuk makan dari hewan buruan, dan kuda zebra dalam hadits ini adalah hewan buruan.
  1. Karena udzur (alasan tertentu).
Dari Abdullah bin Abbas x bahwa suatu saat bibinya yaitu Ummu Hafid memberi hadiah kepada Nabi `  berupa: susu kering, minyak samin serta adhab (hewan sejenis biawak yang hidup di padang pasir, dan makanan pokoknya adalah tumbuhan), maka beliau memakan susu kering, minyak samin dan menolak adhab. [H.R. Al Bukhari dan Muslim].
Dalam hadits ini Rasulullah ` menolak untuk memakan adhab. Adhab adalah makanan yang biasa dimakan oleh kaum Anshar namun tidak biasa dimakan oleh penduduk Mekah, sehingga beliau merasa risih untuk memakannya walaupun tidak diharamkan.
  1. Menolaknya karena khawatir mudharat yang akan menimpanya.
Dari Abu Hurairah z bahwa Rasulullah ` bersabda yang artinya, “Demi Allah, setelah tahun ini aku tidak akan menerima hadiah kecuali dari orang-orang yang berhijrah, orang Quraisy, orang Anshar, orang Daus, atau orang Tsaqafy.”  [H.R. Al Bukhari dalam Adabul Mufrad, dishahihkan oleh Syaikh Al-Albani v].
Penolakan beliau atas hadiah selain dari orang-orang yang tersebut ini disebabkan karena sebelumnya ada seorang Arab Badui yang memberikan hadiah kepada Nabi `. Merupakan kebiasaan mereka adalah memberikan hadiah dalam rangka untuk mendapatkan balasan yang lebih baik. Maka Rasulullah ` memberikan hadiah kepada orang ini dengan sesuatu yang dimampui Nabi `. Namun orang ini marah dan tidak terima, sampai akhirnya Nabi ` memberi dengan kadar yang diinginkan orang tersebut. Maka, di sini dapat diambil pelajaran bahwa kita boleh menolak hadiah atau pemberian jika hal tersebut akan memberikan kemudharatan kepada kita atau akan menjadikan rendah orang yang menerima hadiah tersebut.
Demikian sekilas mengenai hadiah dan hukum-hukumnya, semoga kita dapat memetik manfaat darinya. Wallahu a’lam. [hammam].



Tidak ada komentar:

Posting Komentar